Logo IKADU Mesir

IKADU MESIR

Ikatan Keluarga Daarul Ukhuwwah Mesir

Buka Bersama IKADU Mesir

IBLIS “S” NYA SOMBONG

Penulis: Moch. Fikri Abdul Azis Editor: Afifah Azmi Saiyidah - 14 Juli 2025

Dalam setiap kisah, selalu ada yang namanya antagonis dan protagonis. Begitu pula dalam kisah kehidupan ini, yang mana iblis menempati posisi pertama sebagai puncak klasemen antagonis tertinggi sepanjang masa. Kisahnya pun sangat fenomenal, bahkan ada dalam setiap literatur agama—baik agama samawi maupun selainnya. Dalam islam, kisah iblis yang paling terkenal yang bahkan telah diabadikan dalam beberapa ayat Al-Quran, yaitu dosa yang ia lakukan dahulu ketika masih menjadi penghuni surga. Kita akan mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga bila kita menelisik lebih dalam lagi kisah yang sudah kita ketahui bersama kali ini.

Dalam kisah itu tersebut kesalahan yang dilakukan oleh iblis, yaitu perbuatannya menentang perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam dikarenakan kesombongannya. Kemudian, Rasulullah menjelaskan dalam sabdanya bahwasannya tidak akan masuk surga sesiapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau hanya sebesar biji sawi. Dengan begitu, maka kita bisa tahu hadis tersebut secara terang-terangan menyatakan bahwa kesombongan memanglah sebuah perbuatan yang sangat dikecam oleh agama ini, dan bukan tanpa alasan, melainkan memang kesombongan adalah dosa yang menjadikan iblis menjadi villain nomor satu sepanjang zaman.

Namun, ada hal menarik yang ingin penulis sorot dalam kisah iblis ini—terkait alasan ia enggan bersujud kepada Nabi Adam dengan alasan bahwa ia diciptakan dari api, sehingga ia merasa lebih baik daripada Adam yang diciptakan dari tanah. Ini merupakan pernyataan yang ternyata memiliki kekeliruan. Bila kita telisik lebih dalam tentang ini; bukankah api akan padam bila dihadapkan dengan tanah? Salah satu media dalam memadamkan api adalah dengan menggunakan tanah—yang kita praktikkan dalam keseharian. Apalagi, kita juga tahu bahwasanya Nabi Adam diciptakan dari tanah liat yang jika dipanaskan oleh api, bukannya lenyap, tapi justru akan semakin kuat. Semakin panas apinya, semakin kuat pula bentuk tanah liat tersebut, hingga dapat menjadi sebuah tembikar yang berharga.

Selain itu, api juga memiliki kelemahan lain, yakni ia membutuhkan sesuatu yang bisa terbakar untuk mempertahankan wujudnya, berbeda dengan dengan tanah yang tidak memerlukan bantuan materi lain untuk mempertahankan wujudnya. Di sisi lain, Ustad Salim A. Fillah gemar menambahkan pernyataannya yang cukup menggelitik namun ada benarnya; harga tanah setiap waktu akan semakin mahal, sedangkan harga korek api dari zaman dulu sampai sekarang tidak pernah berubah.

Maka, benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah dalam hadist di atas, yang kemudian salah satu sahabat bertanya, “Sesungguhnya ada orang yang gemar mengenakan pakaian yang anggun dan juga alas kaki yang mewah,” lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat menenangkan, yang menunjukkan bahwasannya Islam tetap memerhatikan fitrah para pemeluknya. “Sesungguhnya Allah itu indah lagi menyukai keindahan,” sembari menjelaskan maksud dari kesombongan dalam sabdanya, “Kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”. Jika kita kaitkan dengan kisah iblis tadi, maka tercerminlah sifat kesombongan yang dimaksud dari sabda ini, karena iblis telah menolak kebenaran. Di sisi lain, iblis juga telah meremehkan Nabi Adam dan merasa lebih baik darinya.

Sebagaimana kita ketahui, syariat yang diturunkan oleh Allah kepada manusia tidak pernah bertentangan dengan fitrah manusia, bahkan sangat menghormati dan memerhatikan fitrah manusia itu sendiri. Hal itu tercermin dari penjelasan Rasulullah bahwa menyukai keindahan dan kemegahan bukanlah bentuk dari kesombongan. Maka, tertolaklah asumsi-asumsi beberapa oknum yang berpendapat bahwasannya menjadi seorang muslim itu haruslah miskin, tidak boleh menjadi kaya raya. Jika ia dalam keadaan kaya raya, berarti dia belum mencerminkan seorang muslim sejati, dan beragam asumsi lainnya.

Apabila Islam melarang manusia dari hal-hal tadi, bukankah itu berarti menyalahi fitrah, Karena secara fitrah manusia pasti menyukai keindahan, kemegahan, kemewahan, harta, dan hal lain yang membawa kebahagiaan? Sejarah pun telah menceritakan kepada kita tentang keadaan para teladan kita dari para ulama’, sahabat, bahkan Rasulullah saw. juga ternyata sangat kaya raya. Bahkan tercatat Dr. Abdul Fattah As-Samman dalam disertasinya berjudul Amwaalun Nabi menjelaskan bahwasanya kekayaan Nabi dari hasil usahanya mencapai 1217 kg emas. Sedangkan infaq beliau nilainya mencapai lebih dari 1251 kg emas. Belum lagi ditambahkan dengan wakaf-wakafnya. Maka, menjadi orang kaya bukanlah bentuk dari kesombongan yang dimaksud dalam agama ini.

Namun sayang seribu sayang, kesombongan yang berbentuk “menolak kebenaran dan meremehkan manusia” ternyata semakin marak terjadi, dan parahnya kadang terjadi di kalangan oknum-oknum yang mengaku sebagai ahli ilmu dan ahli agama. Pasalnya, banyak di antara mereka saat ini yang bukannya berfokus kepada esensi dari keilmuan dan agama itu sendiri, malah menyibukkan diri untuk mengais validasi juga menjatuhkan orang-orang yang tidak sependapat dengannya. Mereka menjatuhkan sesama karena berbeda pemahaman, pengambilan dalil, atau bahkan titik paling parahnya, ada yang menyalahkan hanya karena berbeda aliran, tanpa sedikitpun tau cara pandangan orang tersebut, atau bahkan dia juga tidak tahu apa sebenarnya pendapat aliran yang ia bela tersebut, yang penting baginya hanyalah “Pokoknya aku benar”.

Selain oknum-oknum yang mengaku sebagai ahli agama tersebut, ada juga oknum-oknum dari para politisi dan pemangku kebijakan yang saling menjatuhkan antarpartai juga anti kritik, bahkan titik terjauhnya ialah menangkap dan memburu orang-orang yang mengritik kinerja mereka. Apa yang mereka lakukan berbanding terbalik dengan para sahabat nabi yang telah menunjukkan kerendahhatian, jauh dari sifat sombong. Mereka selalu membuka ruang untuk menerima pendapat, meminta nasehat hingga kritik dari orang lain, padahal derajat ilmu dan imannya sudah tidak diragukan lagi. Sebagaimana Sayidina Ali mengatakan bahwa “setiap mengajariku 1 huruf, maka ia adalah guruku”, juga Sayidina Abu Bakar dan Umar yang meminta fatwa kepada Muadz bin Jabal, atau perkataan Imam Syafi’i tentang Imam Abu Hanifah, “Semua manusia dalam fiqih adalah anak-anak dari Abu Hanifah,” padahal kita ketahui bahwa banyak pendapat Imam Syafi’i yang berbeda dari pendapat Imam Abu Hanifah.

Maka kita sebagaimana seorang tholibul ilmi yang berharap dapat menyandang gelar azhari seyogyanya memetik buah perkataan Imam Syafi’i yang berbunyi “Pendapatku benar, tapi mungkin saja salah. Pendapat selainku salah, tapi mungkin saja benar”. Sebuah prinsip indah yang apabila dipegang teguh, maka kita akan terhindarkan dari sifat merasa paling benar—sifat sombong. Dan jangan sampai kita menjadi manifestasi dari iblis dengan menjauhi sifat-sifatnya.

← Kembali