Salah satu faktor kemunduran umat islam, seperti yang dikatakan Prof. Hamdi Zaqzuq -salah seorang tokoh terkemuka Azhar- dalam kitabnya “Al-Muslimun fii muftaraqit-thuruq” adalah pereduksian islam hanya pada ritual peribadatan saja. Kemerosotan peradaban yang terjadi tidak lepas dari perhatian kaum muslimin yang semakin hari semakin ihmal atau mengesampingkan dan menganggap peradaban bukan merupakan suatu prioritas dalam kehidupan mereka saat ini. Perhatian umat islam jauh dari kemajuan ataupun aspek-aspek penting yang kemudian menjadikan umat ini mereduksi agama yang agung hanya pada ritual-ritual peribadatan yang ma’lum saja tanpa peduli ataupun memperhatikan inti dari beragama itu sendiri serta tujuan-tujuan dibaliknya.
Sebut saja ibadah yang merupakan tiang dari agama islam yakni, sholat. Dalam beragama, keterikatan seorang hamba dan Sang Pencipta sangatlah erat, dimana seorang hamba tidaklah mempunyai kuasa kecuali telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa. Sholat menjadi tolak ukur seorang muslim akan hubungan dia dengan Sang Pencipta, ketika sholatnya baik maka hubungan dengan Tuhannya pun baik, tapi ketika sholatnya buruk hubungannya pun akan buruk.
Dalam surah Al-Ankabut ayat 45, Allah SWT berfirman yang berarti, “Dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar”. Apakah semua sholat yang dilakukan kaum muslimin sudah sesuai seperti yang dikatakan ayat ini? Kemudian bagaimana dengan berita-berita yang terjadi di sekeliling kita tentang pelecehan seksual, pencurian, korupsi? Banyak pelaku dari mereka merupakan bagian dari umat islam itu sendiri, kemudian kita bertanya, “apakah kalian menunaikan ibadah sholat?” mereka menjawab, “iya kami sholat”. Seseorang melaksanakan sholat pada setiap harinya, tetapi di saat yang lain ia juga melakukan hal-hal kemungkaran. Ini merupakan suatu ketimpangan ataupun kontradiksi dengan ayat diatas. Maka dimanakah letak kesalahan atau masalahnya? Pasti bukan pada ayat di atas, melainkan pada kualitas sholat kita masing-masing.
Sebagian dari kita mungkin masih menjadikan sholat hanya sebagai formalitas belaka, di mana ketika selesai mengerjakan maka gugur pula kewajibannya. Padahal nilai dari sholat itu sendirilah yang sangat istimewa dan luar biasa, yang mana seharusnya kita selalu mengevaluasi ibadah-ibadah kita setelah melaksanakannya khususnya pada sholat. Apakah sholat yang kita kerjakan sudah khusyu’ menurut diri kita masing-masing, atau masih belum khusyu’? Sehingga ketika kita sadar sholat yang kita kerjakan masih jauh dari kata khusyu’, kita akan berusaha untuk mencapai tingkatan khusyu’ tersebut dengan tujuan sholat kita diterima di sisi Allah dan dapat menjauhkan kita dari perbuatan keji dan munkar seperti ayat diatas.
Salah satu tujuan dari sholat adalah mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar atau bahasa lainnya perbuatan yang Allah tidak sukai. Tapi tidak semua sholat mampu melahirkan pencegahan seperti itu, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang terlebih dahulu, salah satunya adalah khusyu'. Maka efek atau buah yang seharusnya didapatkan dari sholat seperti ketenangan, kekuatan spiritual, jauh dari perbuatan fasik dan munkar, akan hilang dan susah untuk digapai bahkan mustahil ketika kita sudah tidak menghiraukan yang namanya kekhusyu’an dalam sholat. Dalam sholat seharusnya kita bisa mengambil banyak pelajaran, salah satunya adalah bagaimana menjaga hubungan kita dengan Allah agar selalu baik juga bagaimana kita sudah menjadikan sholat sebagai prioritas utama dalam hidup kita.
Berbicara mengenai kebangkitan umat bukan hanya tentang diri kita pribadi, tetapi tentang kaum muslimin itu sendiri, antara hablum minannas sesama mereka, dan itu semua tidak akan terwujud ketika hablun bainana wa bainallahi nya tidak baik atau bahkan buruk, maka dapat dipastikan kebangkitan itu selamanya tidak akan pernah terwujud. Juga tentang suatu hukum yang tsabit, Allah SWT berfirman dalam surah Ar-Ra’d ayat 11 yang berarti “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Sumber: Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq, Al-Muslimuun fii muftaraqith-thuruq, MuslimCouncil of Elders, Kairo, cet. II, 2019, hlm. 17.
← Kembali© 2025 IKADU MESIR. All Rights Reserved.