Logo IKADU Mesir

IKADU MESIR

Ikatan Keluarga Daarul Ukhuwwah Mesir

Buka Bersama IKADU Mesir

Moderasi atau Toleransi: Cara Muslim Meluruskan Penyimpangan Agama

Penulis: Afifah Azmi Saiyidah Editor: Zidan Muhammad Faiz - 15 Agustus 2025

Alangkah baiknya, penulis mengawali tulisan ini dengan analogi sederhana, tepatnya dari akar pohon yang kuat mencengkeram tanah sehingga ia bisa tahan dalam berbagai cuaca. Hal ini bisa masuk akal bila penulis mengkorelasikannya dengan akidah seorang muslim. Dengan pencanangan akidah yang kuat, maka terciptalah moderasi dalam beragama, hingga menjalankan hukum syariat dan bermuamalah dengan orang lain.

Dunia memang tak melulu soal hitam dan putih saja, tapi ada saatnya dunia perlu batas final; tidak ada ruang abu-abu.

Islam sendiri sebenarnya sudah memberikan banyak warna sebagai bentuk janji Allah—menjadikannya Rahmatan lil ‘alamin. Penulis ingin mengambil contoh mulai dari perumusan empat madzahib fiqhiyyah, menjadikan umat Islam ibarat cabang pohon yang tumbuh dalam akar dan batang yang sama; tata cara yang beragam dengan satu tujuan yang sama, yaitu beribadah kepada Allah Swt. Bahkan Islam juga selalu menggaungkan ajaran yang bersifat holistik (syamil mutakamil) lewat menghargai keyakinan umat beragama lain, menjadikannya petunjuk jelas Islam menjadi tonggak moderasi beragama.

Ironinya, desas-desus pembahasan plot dari layar lebar buatan negeri jiran, Malaysia bertajuk “Bidaah” yang secara implisit dianggap warga internet menunjukkan “cerminan” keadaan rakyat kecil yang mengharapkan “keberkahan” dari oknum figur agama di negeri ini, serta munculnya satire dibungkus jenaka yang ingin membangunkan rakyat dari mimpi fanatik mereka sudah menggambarkan bahwa marak pula kasus fanatisme yang terjadi di tanah air ini.

Tentunya di sini penulis sama sekali tidak mengingkari keberadaan orang-orang terpilih dan diberi kemuliaan oleh Allah dengan jasa menyebarkan ajaran umat nabi Muhammad hingga ke seluruh penjuru nusantara. Namun jika menyoroti kasus fanatisme (At-Ta’ashshub) yang terjadi di lingkungan masyarakat saat ini, terlebih lagi kepada oknum yang secara tidak langsung mencoreng martabat muslim sesungguhnya, apakah seorang muslim yang notabenenya sudah memahami esensi tawassuth dalam Islam masih menoleransi hal ini terjadi?

Penulis mengamati bahwa kasus-kasus yang terjadi—mulai dari feodalisme, perbedaan tajam pada dua kutub pemikiran, pandangan, atau sikap (polarisasi metodologi), hingga pengkultusan kepada oknum figur agama—tak lepas dari akar fanatisme; tidak terbiasa untuk mendengarkan sudut pandang orang lain lewat diskusi, padahal manusia diciptakan oleh Allah dengan kemampuan sudut pandang yang bias atas keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini bisa dikategorikan sebagai sifat berlebihan dalam beragama (ghuluw). Kemunculan kasus-kasus di atas didorong juga oleh banyak faktor seperti rata-rata mentalitas masyarakat yang serba instan, literasi yang rendah, penafsiran sempit, dan masih banyak lagi.

Tak jarang, penulis merenungkan kasus-kasus fanatisme dalam beragama—yang tidak ada habisnya, menyadari bahwa hal ini sudah terjadi selama puluhan tahun—lestari bahkan tanpa dibudidayakan. Seketika penulis memikirkan bagaimana harusnya seorang muslim menyikapi hal ini: dengan moderasi atau toleransi?

Moderasi (At-Tawassuth) berarti penghindaran keekstreman, biasa merujuk kepada keseimbangan beragama. Toleransi (At-Tasāmuh) adalah sifat atau sikap toleran, yang berarti menghargai pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Moderasi sangat perlu dibangun dari relung hati dan pemikiran seorang muslim. Sifatnya bak kompas—tetap menunjuk ke arah utara, berfungsi di segala medan—sehingga mampu memilah mana yang menjadi prinsip dan mana yang dihasilkan oleh ruang ijtihad, menjaga kemurnian agama tanpa menutup diri dari dinamika zaman. Sementara itu, toleransi memiliki peran seperti jembatan—jadi kemungkinan adanya dialog dan kehidupan berdampingan—lebih menekankan pada sikap menghargai dan menerima keberagaman keyakinan, budaya, maupun pandangan, selama tidak melanggar batas-batas prinsip ajaran. Keduanya saling melengkapi dalam menciptakan kehidupan beragama yang damai namun tetap berpendirian. Moderasi berperan sebagai kontrol individu seorang muslim, sedangkan toleransi bisa berperan sebagai kontrol sosial yang meredam konflik mayoritas masyarakat saat ini.

Benang merah yang dapat menjadi sorotan dalam menyikapi hal ini adalah bukan tentang “mana yang lebih baik”, tetapi bagaimana menjadikan moderasi dan toleransi sebagai simbiosis fungsional yang efektif dalam pemecahan masalah (dekonstruksi) fanatisme. Dua hal penyempurna pemecahan masalah inilah yang menjadi letak kekuatan Islam.

← Kembali