Muhammad Abduh menegaskan dalam kitabnya “Risalat At-Tauhid” akan pentingnya mempelajari ilmu kalam sebagai fondasi dalam membangun iman yang rasional dan kuat. Baginya, iman yang sekadar didasarkan pada taklid tanpa pemahaman dan penggunaan akal adalah iman yang rapuh. Ia meyakini bahwa Islam adalah agama rasional dimana setiap Muslim wajib memahami akidah dengan benar, bukan dari warisan turun-temurun saja, melainkan dengan pencarian ilmu dan pemikiran yang kritis.
Abduh melihat bahwa salah satu masalah besar umat Islam adalah kecenderungan mereka dalam menerima ajaran agama secara pasif. Mereka hanya mengandalkan tradisi tanpa berusaha mengerti asal kebenarannya. Ilmu kalam hadir untuk meluruskan cara berpikir ini. Dengan mendalami ilmu kalam, umat Islam diajak untuk menggunakan akal, untuk bertanya, menggali, dan akhirnya membangun keimanan yang sadar, bukan keimanan yang diwariskan begitu saja.
Keimanan yang dibangun dengan berpikir dan memahami dalil-dalil akidah akan jauh lebih kokoh dalam menghadapi tantangan pada zaman ini. Di tengah arus modernisasi, kolonialisme, dan masuknya pemikiran asing, umat Islam membutuhkan pondasi akidah yang tidak hanya bersandar pada emosi, tetapi juga pada pemikiran logis. Ilmu kalam memberikan kerangka berpikir demikian agar Islam tetap berdiri tegak di tengah gempuran zaman. Melalui ilmu kalam, umat belajar mengenal Allah dengan penuh kesadaran. Mereka tidak hanya sekadar mengucapkan keimanan, tetapi juga memahami sifat-sifat Tuhan, hikmah syariat-Nya, serta tujuan dari penciptaan manusia. Pemahaman ini membuat ibadah bukan hanya sekadar rutinitas, tetapi juga aktivitas spiritual yang bermakna.
Selain itu, Abduh meyakini bahwa ilmu kalam membuka ruang bagi umat untuk berpikir kritis tanpa kehilangan rasa tunduk kepada Allah. Sikap kritis ini bukanlah sikap memberontak terhadap agama, melainkan bentuk penghormatan terhadap akal yang dianugerahkan Tuhan. Dengan memahami prinsip-prinsip dasar tauhid secara rasional, umat Islam akan lebih dewasa dalam beragama, tidak mudah terombang-ambing oleh keraguan ataupun fanatisme buta.
Ilmu kalam juga menjadi benteng dari penyimpangan pemikiran yang membekali umat dengan kemampuan untuk membedakan antara ajaran Islam murni dan interpretasi yang menyesatkan. Ketika umat memahami dasar-dasar iman melalui ilmu kalam, mereka akan lebih tahan terhadap pengaruh ideologi yang bertentangan dengan prinsip dasar tauhid.
Tidak hanya itu, ilmu kalam menumbuhkan semangat pembaharuan dalam beragama. Abduh sangat menekankan perlunya ilmu kalam dalam memepelajari Islam agar selalu segar dan relevan dalam menghadapi perkembangan zaman. Melalui ilmu kalam, umat belajar bahwa ajaran agama tidak bertentangan dengan akal sehat, justru memperkuat dan menyinari perjalanan akal manusia menuju kebenaran. Menyelaminya juga membuat hubungan seorang Muslim dengan agamanya menjadi lebih dalam dan personal. Ia tidak lagi hanya “ikut-ikutan”, melainkan mereka tau betul mengapa ia beriman. Kesadaran ini melahirkan kebanggaan terhadap keislamannya serta kesiapan untuk membela agamanya, bukan hanya emosi, tapi juga argumen yang rasional.
Umat Islam harus bangkit dari ketertinggalan mereka, salah satu jalannya adalah dengan menghidupkan kembali semangat berpikir kritis yang diajarkan Islam sejak awal. Dalam dunia modern yang penuh dengan ide baru dan berbagai macam filsafat ini, ilmu kalam berfungsi sebagai pelindung. Ia menjaga agar iman tetap berada di jalur yang benar tanpa menutup pintu perubahan. Justru dengan kekuatan akal, umat Islam bisa menyesuaikan diri dengan dunia modern tanpa kehilangan identitas keagamaannya.
Pengarang kitab “Risalat At-Tauhid” ini juga meyakini bahwa kekuatan akidah sejati terletak pada harmonisasi antara wahyu dan akal. Beliau menolak pemisahan agama dan rasionalitas. Baginya Islam bukan agama yang menolak akal, melainkan agama yang mengajak manusia untuk berpikir, memahami, dan mengambil hikmah.
Lebih jauh lagi, ilmu kalam pun mampu membentuk karakter pribadi yang lebih tenang dan bijaksana. Seseorang yang memahami akidahnya secara mendalam tidak mudah terseret dalam fanatisme, kebencian, atau pertentangan yang tidak perlu. Ia akan lebih cenderung pada dialog, saling menghormati, dan mencari kebenaran bersama. Dalam dunia yang penuh perbedaan pandangan, ilmu kalam juga mengajarkan keterbukaan. Seorang Muslim yang kuat dalam pemikiran kalamnya tidak akan merasa terancam oleh perbedaan karena ia memahami bahwa iman yang sejati tidak takut pada diskusi, justru dengan itulah ia tumbuh.
Di akhir, Muhammad Abduh ingin umat Islam menjadi komunitas yang cerdas, bebas, dan bertanggung jawab. Belajar ilmu kalam adalah langkah awal menuju cita-cita itu. Ia ingin umat Islam bangga dengan agamanya bukan karena keturunan, tetapi karena kesadaran dan keyakinan yang teruji oleh akal dan pengalaman. Dengan semua itu jelas bahwa mempelajari ilmu kalam bukan hanya penting, tapi juga mutlak diperlukan dalam membangun umat beriman yang penuh kesadaran, kuat intelektual, dan siap menghadapi dunia modern tanpa kehilangan jati diri keislamannya.
← Kembali© 2025 IKADU MESIR. All Rights Reserved.