Beberapa waktu lalu lewat short video salah satu forum diskusi yang baru saja penulis ketahui eksistensinya di dunia Masisir ini. Salah satu klaim yang disebutkan dalam video tersebut adalah perjuangan feminisme tidak konsisten dikarenakan melawan keras tindak catcalling meski menggaungkan kebebasan berekspresi. “Bukankah catcalling adalah salah satu bentuk kebebasan berekspresi?” katanya.
Sebelum terjebak dalam dikotomi Barat vs Timur atau stigmatisasi terhadap feminisme, penting untuk membedah argumen ini dengan imbang sesuai dengan prinsip adil sejak dalam pikiran.
Klaim bahwa catcalling adalah bagian dari kebebasan berekspresi, mengabaikan esensi dari kebebasan itu sendiri. Dalam Islam, kebebasan tidak boleh melanggar hak orang lain atau bahkan merendahkan martabat manusia. Tindak catcalling yang berbentuk siulan, komentar fisik, bahkan yang memakai atribut agama seperti “Assalamualaikum ukhti” adalah praktik objektifikasi yang menyebabkan ketidaknyamanan dan mengancam rasa aman bagi korban di ruang publik. Ini bukan ekspresi, melainkan pelanggaran hak atas rasa aman dan kehormatan.
Feminisme sendiri memang mempunyai akar usul dari Barat, namun pada dasarnya semangat perlawanan mereka berangkat dari perlawanan ketidakadilan yang universal. Jadi jika ada yang menyamakan catcalling dengan kebebasan berekspresi, maka di situlah letak ketidakadilan berpikir yang sesungguhnya, dan opininya pun menjadi sekedar ejakulasi ego untuk menjatuhkan kaum tertentu. Secara tidak langsung “akhi” tersebut membela kebebasan pelaku tanpa memedulikan dampak pada korban.
Islam mengajarkan prinsip “la darar wa la dirar”, sedangkan catcalling adalah sebentuk darar yang sering dinormalisasi, padahal ia melanggengkan budaya yang merendahkan korban (penulis menegaskan bahwa tindakan ini tidak hanya menyerang perempuan) dan memicu kekerasan yang lebih serius. Rasulullah SAW bersabda: “Muslim sejati adalah yang menyelamatkan orang lain dari lisan dan tangannya.” Jika lisan digunakan untuk mengganggu, bukankah bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kita?
Menyepelekan catcalling sama saja dengan mengabaikan tanggung jawab kolektif untuk menciptakan lingkungan aman dan bermartabat yang sering digaungkan oleh pemerhati norma Azhari di dunia masisir ini. Lalu untuk apa bicara norma sebagai Azhari namun masih menganggap tindak pelecehan verbal catcalling sebagai kebebasan berekspresi? Kebebasan melecehkan orang maksudnya?
Bukankah Islam hadir untuk mengadvokasi hak-hak perempuan di masa Jahiliyah? Islam menggaungkan penolakan terhadap kekerasan, memperjuangkan hak waris dan hak pendidikan untuk perempuan. Kritik terhadap gerakan feminism sangat dibolehkan, namun jangan sampai membuat kita menutup mata pada ketidakadilan yang nyata, termasuk catcalling dan oknum-oknum yang menganggapnya sepele.
Tidak ada yang melarang seseorang untuk melihat feminisme sebagai “musuh agama” maupun “produk impor”, yang menjadi masalah substansial adalah apakah praktik catcalling merendahkan martabat manusia? Jika jawabannya iya, maka menentangnya adalah bagian dari perintah “amar ma’ruf nahi munkar”. Karena keadilan bukan hak milik satu kelompok saja—ia adalah prinsip universal yang harus diperjuangkan semua orang yang beriman.
← Kembali© 2025 IKADU MESIR. All Rights Reserved.