Memilih untuk menghabiskan waktu di balik selimut di atas kasur adalah kegiatanku akhir-akhir ini; suasana Idulfitri yang begitu membosankan. Tanpa opor ayam, lontong ketupat; padahal kalau buat sendiri bisa saja. Ini adalah kali kedua lebaran tanpa keluarga. Ribuan kilometer jauh dari mereka, dipisahkan samudera Hindia dan kepulauan Andamannya, dibatasi oleh perbatasan negara yang bahkan culture-nya jauh berbeda.
Tiba-tiba handphone milikku berbunyi keras. Wah, telepon dari rumah. Segera kuangkat panggilan itu dan mulai bercerita banyak. Saling bermaaf-maafan lahir dan batin, saling sungkem, dan sebagainya. Tak terasa sudah 30 menit aku sibuk dengan gawai ini.
Hmm, aku memandang keluar jendela sejenak. Terlihat disana, sekumpulan masisir sedang tertawa sembari berjalan. Sepuluh orang. Ya, jumlah mereka sepuluh orang. Aku menghela napas sejenak. Hmm, bagaimana kalo di jendela belakang, kira-kira siapa yang akan kulihat. Aku alihkan pandangan ke jendela itu. Ternyata sama, gerombolan masisir yang bahkan dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Banyak juga ya, bahkan tidak sampai radius 50 meter sudah ada 30 masisir.
Aku membalikkan badan, mencari tempat duduk yang nyaman. Memilih untuk scrollingsantai sambil memikirkan hal tadi. Pertumbuhan mahasiswa Indonesia di mesir ini sungguh masif sekali, dan bahkan yang kulihat di kampus tidak begitu, atau mungkin hanya ketika ujian mereka terlihat ramai? Ah, bodo amat lah. Eh, tapi bukannya diaspora Indonesia di seluruh dunia memiliki organisasi ya?. Oh iya, PPI Dunia.
Wah, aku menemukan mereka di Instagram. Tanganku mulai bekerja menggeser-geser feeds Instagram itu, membacanya satu-persatu. Lima menit berlalu, what? Dengan kuantitas diaspora pelajar Mesir yang jauh lebih banyak dibandingkan diaspora negara lain, tak banyak dari mereka yang ambil andil besar di sana. Salah satu yang menarik perhatianku adalah diaspora pelajar Indonesia di Czech Republic, salah satu dari mereka pernah menjadi ketua PPI Dunia. Bagaimana bisa? Padahal saat itu jumlah diaspora disana hanya 3 orang saja?.
Dengan cepat aku mencoba mencari jumlah pasti masisir. Dari segala sumber terpercaya, jumlah masisir ada di angka 15.000 atau bahkan lebih. Belum lagi jika dibayangkan tiap tahunnya ada lebih dari seribu mahasiswa baru yang datang. Bukankah dengan kuantitas sefantastis itu harusnya masisir mampu memiliki andil besar di PPI Dunia? Atau masifnya mereka justru menyebabkan penurunan kualitas? Hmm, sebenarnya siapa yang harus bertanggung jawab di sini?
Aku beranjak sejenak membukakan pintu yang dari tadi digedor. Ternyata temanku lupa membawa kunci rumah.
Temanku ini adalah salah satu masisir yang jarang sekali kuliah, ya meskipun aku sendiri juga begitu. Tapi kasihannya, dia adalah korban dari mediator yang tidak bertanggung jawab. Kasarnya sih dia dibuang, tidak diurus administrasinya, tidak difasilitasi tempat tinggal ketika awal kedatangan, tapi untungnya aku kenal dia. Aku mengajaknya untuk tinggal di rumah ini bersama teman-teman lain. Miris kan?
Nah, teringat kemarin saat ujian termin 1, dimana semua mahasiswa sibuk dengan diktat kuliah mereka. Piket masak di rumah pun libur karena persiapan ujian. Menu sarapan selama masa ujian semuanya tausil dari rumah makan milik orang Indonesia. Mirisnya, semua yang mengantar makanan itu adalah anak ma’had, yang notabene masih usia SMA.
Nah, sebenarnya apa tujuan mediator-mediator ini memberangkatkan anak bangsa ke negeri orang? Yang realitanya Mesir pun belum semaju itu? atau bisnis mediator ini menjanjikan hasil yang signifikan bagi oknum-oknumnya? Jika benar, maka jelas mediator sudah melakukan human traficcing secara tidak langsung. Mediator yang seharusnya menjadi salah satu wasilah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, malah mengeksploitasi manusia dengan jumlah yang tidak sedikit tiap tahunnya.
Adzan Asar berkumandang; Aku pun sholat.
← Kembali© 2025 IKADU MESIR. All Rights Reserved.