Di tengah kemajuan digital, penggunaan media sosial sudah menjadi hal yang marak digunakan oleh khalayak. Media sosial secara empiris telah berhasil dan terbukti memberikan manfaat positif sebagai sarana komunikasi, akses informasi, hiburan, eksistensi diri, sekaligus sebagai alat strategi produktif seperti menciptakan branding, charity-philanthropy, perdagangan, dan aktivitas positif lainnya. Berbagai nilai kelebihan ini membuat para dai dan dâ’iyyah memanfaatkannya untuk menyebarkan pesan kebaikan.
Namun, adanya kebebasan dari setiap pengguna untuk mengekspresikan dirinya di media sosial, membuat pengguna lain merasa bebas untuk berkomentar dan bertindak. Tak jarang stereotip terhadap perempuan menjadi penghalang bagi para dâ’iyyah untuk menyampaikan kebaikan. Bukankah seharusnya sebagai seorang muslimah memiliki rasa kepedulian untuk menyampaikan kebaikan lebih luas dan tidak bersikap apatis atau merasa cukup dengan apa yang ada?
Fenomena tersebut cukup menjawab keresahan kita. Ketika sebagian influencer dan pengguna lain menggunakannya untuk membuat konten yang tidak mendidik bahkan menyeleweng, menjadi suatu hal yang miris. Terlebih, 85% masyarakat Indonesia menghabiskan waktu dengan media sosial. Maka ketika media sosial tidak diimbangi dengan nilai kebaikan, akan menjadi pengaruh besar bagi masyarakat.
Perempuan memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa, merekalah yang melahirkan generasi baru bagi masa depan. Maka dari itu, stereotip tentang perempuan lemah atau pandangan buruk lainnya—yang membuat perempuan merasa terbatasi—harus dihilangkan, karena hal tersebut dapat berpengaruh terhadap pola pikir dan gerak perempuan. Stigma negatif yang menyebar membuat ruang gerak mereka terbatasi, sehingga memengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan perempuan. Padahal mereka memiliki hak berekspresi, menciptakan suatu karya, memimpin, mengenyam pendidikan, memiliki cita-cita, berkarier, dan berdakwah khususnya.
Terbatasnya peran dâ’iyyah dalam berdakwah, mengakibatkan ruang lingkup media sosial akan diisi oleh pihak-pihak tidak kompeten dalam menyampaikan suatu ilmu tanpa dasar dan landasan yang kuat. Beberapa oknum menjadikan tren agama sebagai batu loncatan untuk mendapatkan hal-hal seperti popularitas, followers, endorsement, dan lain sebagainya. Maka jangan heran jika saat ini banyak ditemui oknum yang menyebarkan suatu ilmu secara spontan tanpa mengetahui hukum asal, bahkan tanpa berguru kepada siapapun.
Hal ini menjadi awal hilangnya kepakaran ilmu, terutama dalam agama Islam yang memiliki silsilah keilmuan yang jelas atau biasa kita sebut dengan sanad keilmuan. Hadirnya media sosial dan kebebasan berekspresi di dalamnya, menyebabkan siapapun bisa menyebarkan ilmu tanpa diketahui landasannya. Aksesnya pun mudah disebar bahkan diterima secara mentah-mentah oleh masyarakat yang belum tahu kemurnian dan kebenarannya. Dengan demikian, media sosial adalah fenomena yang memberikan peluang dan tantangan bagi perempuan di era digital saat ini.
Lantas masih perlukah peran perempuan dalam menyebarkan dakwah melalui media sosial dengan segala dampak dan resiko di atas? Ya, tentu saja. Bisa dibayangkan jika peran perempuan yang mumpuni dibatasi, maka agama akan disampaikan oleh mereka yang tidak pakar. Hal ini menyebabkan terputusnya silsilah sanad dan pemahaman masyarakat yang tidak tuntas.
Adapun perintah menyebarkan ilmu dan berdakwah sudah termaktub dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 104, yang artinya: "Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung."
Lafaz perintah di sini menggunakan makna umum (laki-laki dan perempuan) yang harus kita amini bersama. Semestinya, sebagai muslimah merasa memiliki kewajiban untuk berdakwah dan tidak merasa cukup pada kewajiban laki-laki saja.
Peran perempuan di ruang publik sudah dicontohkan oleh para istri rasul dan sahabiyyat sejak lama. Seperti Sayidah Aisyah; seorang perawi hadis terbanyak ke-6, Sayidah Khodijah; seorang pedagang sukses pada zamannya, Al-Shifa binti Abdillah Al-Syams yang ahli dalam bidang administrasi, Ummu Sulaim dan Rufaidah Al-Islamiyyah binti Sa’ad yang ahli dalam bidang kesehatan dan kedokteran, dan masih banyak para sahabiyat lain yang tampil di ruang publik.
Hal ini menjadi dalil bahwa Islam tidak membatasi peran dan panggung bagi perempuan, termasuk media sosial. Namun setelah terjun ke dunia media sosial, terdapat hal-hal yang perlu digarisbawahi terkait sikap seorang muslimah dalam menggunakannya. Hal itu erat kaitannya dengan etika dan tujuan memilih media sosial sebagai sarana dakwah.
Mudahnya sarana, baik akses maupun jangkauan, membuat nilai-nilai dakwah dapat disebarkan lebih luas lagi. Tak hanya jangkauan, berdakwah di media sosial dapat disampaikan dengan cara dan visual yang menarik, juga menjadi solusi dari materi-materi yang dianggap monoton bagi sebagian masyarakat.
Seperti yang kita ketahui pada zaman ini, sebagian dâ’iyyah sudah mulai menggunakan media sosial dalam menyebarkan dakwahnya. Seperti Ustadzah Halimah Alaydrus dan Ustadzah Oki Setiana Dewi. Dari kedua tokoh tersebut, kita melihat tujuan penyampaian dakwah yang sama dengan metode yang berbeda. Ustadzah Halimah Alaydrus yang berdakwah di media sosial tanpa menampakkan wajah (no face), dan Ustadzah Oki Setiana Dewi dengan cara sebaliknya. Hal ini menjadi contoh bahwa kewajiban berdakwah pada setiap muslim bisa disalurkan melalui cara dan metode apapun, dengan tetap memerhatikan koridor syariat.
Q.S. Al-Hujurat ayat 6, 11-13 menjelaskan bagaimana seharusnya umat Islam menjaga etika pergaulan. Allah berfirman dalam ayat 6, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Ayat tersebut mendorong kita untuk menelaah kembali informasi yang kita dapat ataupun yang akan kita sebarkan. Untuk melakukan hal ini, tentunya dibutuhkan landasan serta ilmu paten yang sesuai dengan sumber agama dan sanad keilmuan Islam. Inilah privilege yang dimiliki oleh seorang penuntut ilmu. Ilmu telah menjadi santapan utama yang senantiasa disampaikan langsung oleh para pakar di bidangnya.
Maka, hadirnya media sosial menjadi peluang bagi para dai dan dâ’iyyah dalam menyebarkan ilmu seluas-luasnya. Penggunaannya pun sudah banyak dicontohkan dengan beragam cara. Namun, peluang yang besar ini harus diselaraskan dengan etika yang sesuai dengan koridor syariat dan ilmu yang mendalam.
Penulis menganggap bahwa sarana yang hadir di era globalisasi ini tak hanya menjadi peluang, namun juga ancaman. Ancaman yang apabila digunakan tanpa dasar agama dan sumber yang benar, akan menjadi penyebab hilangnya kepakaran dalam keilmuan.
← Kembali© 2025 IKADU MESIR. All Rights Reserved.