Logo IKADU Mesir

IKADU MESIR

Ikatan Keluarga Daarul Ukhuwwah Mesir

Buka Bersama IKADU Mesir

Puisi yang Lahir dari Luka: Mengapa Sastra Tak Pernah Mati?

Penulis: Revaldi Dwi Wardoyo Editor: Muhammad Yafi Dwi Ari Kusuma - 22 Mei 2025

Dalam senyap, kata-kata sering kali menjadi jalan pulang bagi mereka yang kehilangan arah. Ia bukan sekadar susunan huruf, melainkan jeritan halus dari jiwa yang enggan bising. Mungkin itulah sebabnya sastra—terutama puisi—tak pernah benar-benar mati. Ia hidup dari apa yang tak bisa dijelaskan dengan data; rasa.

Zaman berubah. Surat diganti dengan pesan instan, buku dilipat oleh sebuah layar, dan waktu kontemplasi diremukkan notifikasi. Namun masih saja ada yang duduk di tepi malam, menulis bait-bait yang tak berima hanya untuk bisa bernapas. Sebab bagi sebagian orang, kata-kata adalah bentuk paling sunyi dari perlawanan.

Puisi tidak datang membawa solusi. Ia bukan obat, tapi pelipur. Ia tidak memaksa untuk dipahami, hanya ingin menemani. Dalam satu barisnya yang ringkas, terkadang tertumpah seluruh isi dada yang tak bisa dijelaskan. Seperti yang ditulis Sapardi Djoko Damono,"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana // dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Dalam kesederhanaan itu, justru puisi menyimpan kedalaman yang menggetarkan.

Bagi para penyair, dunia tidak dilihat dalam warna hitam dan putih. Mereka membaca pelangi di balik mendung, dan menulis matahari meski hari sedang hujan. Seperti kata WS Rendra,"Kesunyian adalah suara yang tak terdengar, tetapi terasa." Maka dari sunyi itulah lahir sajak-sajak, bukan untuk memekik, tapi untuk menyentuh.

Sastra tidak lahir dari tempat yang riuh. Ia tumbuh dari ruang-ruang kecil yang disisakan oleh perenungan dan luka. Siapa pun yang pernah patah, pernah bertanya, atau pernah rindu tanpa bisa dijelaskan, akan tahu bahwa puisi adalah bahasa kedua dari jiwa.

Manusia menulis bukan karena tahu, tapi karena ingin mengerti. Dan puisi bukan ditulis untuk dikagumi, tapi untuk memberi ruang bagi rasa yang tak tertampung dalam percakapan sehari-hari. Kata-kata bisa menjadi pelampung, bagi mereka yang nyaris tenggelam dalam kesibukan hidup yang kian menyesakkan.

Maka selama masih ada hati yang remuk, jiwa yang tak tenang, dan manusia yang bertanya tentang makna, puisi akan tetap tumbuh. Tak perlu panggung megah. Ia hanya butuh kejujuran, dan sedikit keberanian untuk diam.

Zaman bisa menjadi lebih cepat, lebih bising, lebih sibuk. Tapi puisi akan selalu punya ruangnya sendiri: ruang yang disediakan oleh luka, diisi oleh harapan, dan dilahirkan oleh kerinduan manusia akan makna.

Maka selama manusia belum menjadi batu, sastra tak akan mati.

← Kembali