Terkadang aku termenung di tengah kerumunan riuh masisir yang bersorak. Timbul tanya dalam benakku: “Mengapa antusiasme masisir begitu luar biasa saat menghadiri acara yang meriah dan bersifat hiburan. Tetapi seringkali sepi saat di acara kajian, atau bahkan kelas perkuliahan?” Bukan satu atau dua kali, kita menyaksikan acara bertema hore pesertanya begitu banyak, penuh tawa, dan bersaing untuk upload foto di sosial media. Sedangkan jika kita bandingkan dengan acara keilmuan, kursi kosong tak bertuan, bahkan yang hadir di perkuliahan bisa dalam hitungan.
Tak ada yang salah dengan kegembiraan, sebab manusia memang butuh kebahagiaan. Tentu, tidak ada yang salah dengan hal itu. Kegiatan hiburan juga menjadi bagian dari kebutuhan untuk melepas lelah dan penat. Yang menjadi titik permasalahan adalah ketika kesenangan menjadi prioritas utama, dan ruang keilmuan hanya menjadi pilihan cadangan, atau bahkan tak terpikirkan. Maka, perlu ada yang kita pikirkan ulang dari arah langkah kita di negeri rantau ini. Menghilangkan keresahan agar mendapatkan jawaban.
Tak jarang aku bertanya, bukan kepada siapa-siapa, tapi kepada diri ini yang hampa, dan juga kepada kita semua. “Siapakah kita saat ini? Benarkah status kita saat ini sebagai mahasiswa universitas Al-Azhar sudah sesuai dengan harapan masyarakat? Sekali lagi, untuk apa kita menyebrang benua dan paspor distempel, kalau ternyata kita masih tenggelam di zona nyaman?!”
Bukankah kita izin ke orang tua untuk menuntut ilmu? Bukankah dulu kita berangkat dengan niat yang murni dan suci? Mencari keberkahan, mendalami Al-Azhar yang menjadi idaman ribuan orang. Tapi semangat dan niat itu kian hari makin memudar. Entah karena keadaaan sekitar, atau memang kita yang gak sadar. Realitanya, saat ini jajaran kursi di kuliyah kosong tak ada wafidin yang mengisi. Kita lebih tertarik daftar goggle form berbagai acara, sementara jadwal kuliah lupa. Kita lebih hafal berbagai lagu yang trend atau bahkan tarian Tiktok, sedangkan nama duktur atau dukturoh kita belum tentu tahu. Kita rela pulang malam mengikuti kegiatan, tapi malas membuka kitab kecuali hanya untuk ujian. Rasanya ada yang salah dalam dunia masisir saat ini.
Di tengah segala dinamika kehidupan ini, mari kita ingat kembali bahwa keberadaan kita di Al-Azhar Mesir ini, bukanlah sekedar status atau gelar, tapi merupakan amanah besar. Menyelami keilmuan Azhar bukan hanya soal hafalan, ujian, atau bahkan kelulusan, tapi tentang mendalami pemahaman, memancing segala kebaikan dan keberkahan, kembali pulang dengan bekal yang membanggakan. Karena kita semua adalah pemimpin di masa depan, yang saat ini sedang membawa warisan ulama’ yang ilmunya menembus zaman. Bukankah seharusnya kita bangga menjadi bagian dari kehormatan dan kesempatan ini? Maka, jangan biarkan semangat kita padam hanya karena rasa jenuh, atau terbawa arus godaan sesaat.
Sekali lagi, ini bukan tentang anti hiburan, tidak. Sebab Islam tidak melarang kita untuk berbahagia. Tapi, yang salah adalah jika kita terlalu larut dalam sorak, sampai lupa ada ruang sunyi yang butuh dihidupkan. Ada yang keliru jika hati ini lebih tergerak oleh sorotan kamera daripada lantunan ayat.
Tulisan ini bukan penghakiman, melainkan ajakan kembali untuk suatu renungan. Ada kalanya kita tergoda, kadang lelah, menangis, kadang juga tertawa. Tapi mungkin lewat tulisan ini kita bisa diingatkan. Kita boleh menikmati hiburan, tapi jangan sampai ilmu jadi dikorbankan. Karena kita adalah harapan bangsa, umat, dan negara. Mari kita perbaiki niat, hidupkan kebiasaan baik di dunia masisir. Kembali hadir, tidak hanya ketika dalam sorak, tetapi juga ketika sunyi. Justru di ruang-ruang sepi itulah, karakter pencari ilmu sedang dibentuk. Karena ilmu sejati tak lekat di jiwa yang rapuh, tapi di tekad yang sungguh-sungguh.
← Kembali© 2025 IKADU MESIR. All Rights Reserved.