Logo IKADU Mesir

IKADU MESIR

Ikatan Keluarga Daarul Ukhuwwah Mesir

Buka Bersama IKADU Mesir

SYARIAT, PENERAPAN, DAN KEBIJAKSANAAN: TELAAH KONTEKSTUAL

Penulis: Muhammad Firas Editor: Zidan Muhammad Faiz - 3 Agustus 2025

Memang benar, di dalam kitab-kitab fikih, terutama dalam mazhab Syafi’i, disebutkan bahwa seorang muslim yang meninggalkan shalat diterapkan hukum had, yaitu dibunuh. Namun, ini adalah teori hukum. Adapun dalam konteks bernegara, seperti di Indonesia, penerapannya tidak semudah yang dibayangkan. Harus dibedakan antara hukum syariat itu sendiri dan penerapan hukum dalam realitas sosial. Keduanya adalah dua hal yang berbeda.

Negara kita tidak menerapkan hukuman had sebagai institusi yang berwenang. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i sendiri terdapat perincian terkait hukum orang yang meninggalkan shalat. Jika seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka ia dihukumi kafir. Namun, jika ia meninggalkan shalat karena malas atau sebab lainnya, sedangkan dalam hatinya tetap meyakini kewajibannya, maka ia dihukumi sebagai fasiq, bukan kafir.

Kenyataannya, hampir rata-rata umat Islam di Indonesia yang belum melaksanakan shalat, insya Allah termasuk dalam kategori kedua — yakni karena kelalaian atau kemalasan, bukan karena mengingkari kewajiban. Ini sebagai bentuk husnudzon (berbaik sangka) terhadap sesama muslim. Terlebih, memilah keyakinan seseorang adalah perkara hati yang tidak mudah dinilai secara lahiriah.

Penerapan hukuman mati terhadap orang yang meninggalkan shalat (baik karena mengingkari kewajibannya maupun karena malas) harus mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadat, serta situasi dan kondisi yang ada. Tidak bisa diterapkan begitu saja tanpa perhitungan matang. Jangan sampai penerapan hukum tersebut, khususnya dalam konteks saat ini, justru menimbulkan mudharat yang lebih besar daripada manfaat yang diharapkan. Bayangkan, berapa banyak muslim yang harus dihukum mati setiap harinya?

Tidak diterapkannya hukuman had di suatu negeri karena pertimbangan tertentu tidak serta-merta menjadikan negeri tersebut berubah menjadi negeri kafir. Sahabat Umar bin Khattab sendiri pernah menangguhkan penerapan hukum potong tangan bagi pencuri pada masa paceklik, saat terjadi krisis ekonomi dan kesenjangan sosial di masyarakat. Apakah keputusan tersebut membuat pemerintahan Umar menjadi tidak Islami? Tentu tidak.

Bahkan, dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Syaikh Abdurrahman Bin Muhammad Al-Masyhur dijelaskan bahwa Indonesia tetap dianggap sebagai negara Islam, bahkan pada masa penjajahan Belanda, sebab mayoritas penduduknya adalah muslim. Ini menunjukkan bahwa status keislaman suatu negeri tidak semata-mata dinilai dari sempurnanya penerapan hukum-hukum pidana syariat.

Hukum syariat memang tetap, tidak berubah. Namun, penerapannya bisa berubah sesuai dengan perubahan tempat, zaman, kondisi, dan manusia. Apalagi, dalam penerapan hukuman mati, ada potensi terjadinya kesalahan dalam menilai seseorang, yang risikonya sangat besar. Menumpahkan darah seorang muslim tanpa alasan yang benar lebih berat dosanya daripada lenyapnya dunia dan seluruh isinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lakukanlah seminimal mungkin memidanakan seorang muslim. Jika dia bertaubat dan berkelakuan baik, berikanlah remisi padanya. Hal ini karena hakim yang salah dalam memberikan remisi itu lebih baik daripada hakim yang salah dalam memberikan hukuman.” (HR. Al-Baihaqi)

Oleh karena itu, memahami perbedaan antara hukum syariat sebagai prinsip tetap dan penerapannya yang fleksibel sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penerapan hukum harus mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan ekonomi masyarakat setempat, agar tidak justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kemaslahatan yang diharapkan. Prinsip kehati-hatian dan pertimbangan maslahat ini merupakan bagian dari kearifan syariat Islam yang sangat luhur.

Sebagai umat Islam, kita harus terus berusaha menegakkan syariat dengan penuh hikmah, tanpa tergesa-gesa, serta disertai dengan pemahaman yang mendalam terhadap maqashid al-syariah (tujuan-tujuan besar syariat). Melaksanakan syariat tidak cukup hanya dengan semangat, tetapi juga membutuhkan ilmu, pertimbangan maslahat, dan kesadaran akan tanggung jawab di hadapan Allah dan sesama manusia. Semoga Allah memberikan bimbingan dan pertolongan dalam setiap langkah kita menegakkan agama-Nya dengan cara yang diridhai-Nya.

← Kembali